Artikel, Esai

Komersialisasi Ujung Rambut Hingga Kaki

sumber:google.com

oleh : Ayu Nuzul

Apa sih yang tidak dikomersilkan? Kita mandi pakai sabun, keramas pakai shampo, sikat gigi pakai pasta gigi, cuci muka pakai scrub, cuci baju pakai deterjen, mau tidur pakai lotion, datang bulan butuh pembalut. Kenapa tubuh ini konsumtif sekali! Apa ini kebutuhan ataukah sekedar gaya hidup? Andai dirinci secara matematis berapa rupiah kebutuhan tubuh ini selain makan? Bagaimana jika dalam keseharian tanpa memakai produk-produk tersebut? Bagaimana mengenal produk-produk tersebut sehingga menjadi bagian kehidupan?

Nenek saya pernah bercerita jika orang dahulu mencuci baju memakai klerak yakni sejenis tanaman, saya juga belum pernah melihat tanaman itu. Keramas cukup dengan merang atau sekarang lebih dikenal dengan nama urang-aring, untuk pelembab rambut cukup pakai minyak kelapa dibikin sendiri. Orang dulu terbiasa nginang (makan sirih), walau usia tua gigi tetap utuh barangkali jarang juga gosok gigi. Untuk masalah datang bulan cukup pakai kain bekas, dicuci, dipakai kembali, jadi tidak ada sampah, tanpa biaya.

Sekarang semua serba beli dengan alasan praktis dan efisien. Lagi pula jika memakai bahan seperti yang disebutkan di atas sulit didapatkan saat ini, berbeda dengan dahulu bahan-bahan dari alam bisa diperoleh dengan mudah dipekarangan rumah. Bagaimana bisa hilang bahan-bahan tersebut padahal menjadi kebutuhan utama? Jika dahulu semua kebutuhan cukup dari alam kenapa beralih memilih mengeluarkan biaya?

Kehidupan sekarang semua serba modern segala sesuatu terlihat menarik dari luar, praktis, dan efisien. Tersedia dimana saja, dan gampang didapat, berbagai macam produk ditawarkan mulai dari atas kepala sampai menyentuh tanah. Seolah-olah menjadi solusi praktis, padahal membelenggu menjadi ketergantungan. Lantas siapa yang diuntungkan? Kita sebagai konsumen atau produsen.

Persoalan tersebut baru satu ruang kehidupan, bagaimana dengan makanan sehari-hari sebagai kebutuhan primer? Selanjutnya sekunder? Apa juga berubah?

Sebagai perenungan lagi-lagi saya mengambil cerita nenek, orang dahulu kalau makan itu seadanya. Panen jagung sebagian dijual sebagian untuk makan, begitupun dengan padi cukup makan sampai panen berikutnya. Makanan alternatif seperti ketela pohon atau rambat, umbi-umbian lain banyak di pekarangan rumah atau kebun.Sebagai lauk di kebun semua tersedia lengkap, cabai, pepaya, kelapa, daun-daunan, tumbuh liar di kebun. Belanja cukup beli ikan asin, terasi, garam. Jika ingin menu lain seperti telur bisa ambil di kandang, kata nenek walaupun ayamnya tidak banyak. Masakan nenek  jarang digoreng, ikan asin cukup dibakar, ketela direbus. Beli kecap saja kalau akan masak buat selamatan.

Nenek saya petani tulen, katanya petani jarang punya uang tapi punya barang. Jadi kalo masalah makan cukup yang dipunya saja yang penting tidak punya hutang.

Selanjutnya, bagaimana dengan kebutuhan sekunder? Kira-kira dalam setahun kita beli baju berapa kali? Sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pulsa? Perabot rumah tangga apa yang belum punya? Apakah kesemuanya jadi sesuatu yang urgen?

Menjadi Manusia Konsumtif

Menurut pakar neurosains Sam Haris mengatakan manusia modern dibuat terobsesi oleh sebuah produk. Baru-baru ini muncul iklan provider dengan sebuah jargon unik “kebelet online”, dimunculkan remaja rela naik ke atas pagar mencari sinyal  agar bisa online. Pesan iklan tersebut mengisyaratkan online adalah kebutuhan. Iklan serupa, sebuah smartphone, jargon iklannya “muka masa kini hp masa gitu!”. Iklan tersebut berpesan bahwa remaja saat ini sudah tidak cocok dengan hp yang cuma bisa menelpon dan kirim pesan. Untuk menjadi remaja masa kini mesti smartphone.

Iklan menjadi ideologi, tanpa sadar memaksa, tanpa sadar mengobsesi pikiran, mencuci otak, membayangi, membuat penasaran, dan pada akhirnya masuk jebakan dengan membelinya.

Sebuah riset UCLA pada 2012 terhadap 32 keluarga di Los Angeles terkait kepemilikan benda-benda. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin banyak benda yang dimiliki keluarga semakin mahal biaya hidup dan perawatan yang harus dikeluarkan1.

Pada 2013, Kadence International-Indonesia merilis hasil riset Share of Wallet, hasilnya 28 persen masyarakat Indonesia berada dalam kategori “Broke”, atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Pengeluaran ini dilakukan untuk hidup mewah di luar penghasilannya2. Perilaku konsumtif demi memburu benda yang menjadi obsesi dapat dilihat penuhnya pusat perbelanjaan menggelar diskon produk ternama semisal Nike, pembeli rela berdesakan dan antri berjam-jam3.

Jika merujuk apa yang dikatakan David Harvey menganai “time space compression” adalah kata kunci untuk menunjukkan kondisi keberadaan manusia atas ruang dan waktu. Time space compression merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini yang erat dengan kemajuan material menyentuh hampir segala aspek kehidupan. Kemajuan material menyangkut kemajuan teknologi yang bertambah canggih. Hal demikian tidak lepas dari modus produksi kapitalis. Harvey memberikan tiga gambaran modus produksi kapitalis, pertama, kapitalisme selalu berorientasi pada pertumbuhan, kedua, pertumbuhan yang maksimal mengandaikan adanya eksploitasi terhadap buruh, dan ketiga, kapitalisme membutuhkan suatu kondisi dinamis dan inovatif secara teknologi organisatoris.

Dalam dua atau tiga dekade terakhir Harvey menunjukkan adanya pergeseran ranah kehidupan sosial manusia. Dalam ranah ekonomi-politik disebut pergeseran dari sistem fordisme4 ke sistem akumulasi fleksibel. Sistem akumulasi baru ini  berdasarkan fleksibel atau kelenturan respect pada proses kerja, proses produksi, dan pola konsumsi. Untuk mempercepat waktu perputaran konsumsi, umur barang produksi semakin diperpendek sehingga orang membeli barang baru lagi. Dibawah sistem fordisme umur produk bisa mencapai lima sampai tujuh tahun, tetapi dibawah sistem akumulasi fleksibel umur produk diperpendek hingga separuhnya. Bahkan perangkat lunak (software) hanya dalam hitungan bulan5.

Dalam bidang produksi muncul produk instan (cepat saji) dan cepat buang. Namun yang dibuang tak hanya barang, tetapi juga nilai-nilai, gaya hidup, relasi-relasi mapan serta ikatan-ikatan pada tempat dan orang.

Produk instan tak hanya berupa makanan, produk lain seperti sabun cuci yang dahulu memakai klerak melalui proses direbus dahulu. Minyak rambut dari kelapa melalui proses panjang; diparut, diambil santannya kemudian dimasak sampai keluar minyaknya. Cuci piring cukup pakai abu gosok diambil dari  tungku tak perlu beli. Keramas dengan urang-aring dibakar, direndam air kemudian diambil beningnya. Kesemua proses itu dianggap memakan waktu lama, kuno, dan ribet. Demikian juga tisu, popok bayi, gelas atau botol minum semuanya sekali pakai-buang. Memakai produk jadi dianggap efisien, yang tentunya diperoleh dengan beli. Melalui sirkulasi produksi kebutuhan manusia dibentuk agar dapat mengkonsumsi apapun yang diproduksi.Polanyi menyatakan bahwa kelembagaan pasar tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakikat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat, ia akan secara fisik merusak6.

Lebih lanjut aktivitas produksi membutuhkan manipulasi rasa dan opini melalui iklan yang tidak hanya sekedar menginformasikan atau mempromosikan tetapi meningkatkan menjadi usaha memanipulasi hasrat dan rasa melalui imaji-imaji yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan. Bahkan imaji-imaji sendiri menjadi komoditas.

Visualisasi iklan seolah hidup dan nyata. John Cook (Dalam Bragg & Kehily, 2014) mengidentifikasi hal tersebut dalam iklan yang ditargetkan kepada khalayak muda:7

“…wacana periklanan kini semakin kerap menekankan agensi dan otonomi konsumen muda. Alih-alih dirancang secara artifisial oleh pasar, hasrat para konsumen muda ditampilkan sebagai hal yang otentik dan berasal dari diri mereka sendiri.”

Menurut Heiddegger perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang dimana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa. Misal produk kecantikan Wajah, divisualisasikan perempuan berhijab, cantik, dan sukses. Pesan iklan ini mencitrakan bahwa ini produk halal bersertifikat MUI artinya tidak ada babi-babian jadi tak perlu takut tercampur sesuatu yang haram plus aman karena halaalan bersanding dengan thoyyiban.

Produk ini dipakai para perempuan sukses kelas atas sehingga mampu meyakinkan orang untuk berbondong-bondong menyerbu supermarket membeli produk ini dengan bayangan mendadak berganti rupa secantik Dewi Sandra. Labelisasi halal pada gilirannya menjadi tren komersil produk lain seperti jilbab, deterjen, shamphoo, parfum, body loshion dan sederet produk lain yang belum muncul. Sebagaimana diungkapkan oleh aliran Marxisme Frankfurt bahwa kesadaran palsu berdasarkan pada penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya  serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kuasa media8.

***

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang diadakan Sayogjo Institut di pesantren al-Thariq Garut pada Jawa Barat 14-16 Juli 2017 diikuti oleh 165 peserta laki-laki dan perempuan patut diapresiasi ide revolusi meja makan dengan kembali kepada yang natural 9.

Acara yang mangkaji bagaimana pengaruh makanan modern terhadap kondisi tubuh, karena tidak diketahui asal-usulnya yang kesemuanya didapat dengan membeli di swalayan atau pesan melalui aplikasi telepon pintar. Komposisi makanan maupun proses tanamnya mengandung kimia berbahaya  yang berakibat buruk bagi tubuh dan juga alam. Minyak goreng sawit yang tumbuhnya ditopang pestisida kimia demikian juga beras, bahkan sayuran. Kemasan styrofoam atau plastik butuh 100 tahun terurai dengan tanah menjadi racun.

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air ini menjadi suatu perlawanan kecil bahwa kita harus kembali ke alam, memanfaatkan apa yang diberikan alam di mulai dari meja makan berlanjut kebutuhan-kebutuhan lain dari atas kepala sampai ujung kaki. Ditengah gempuran berbagai produk makanan maupun selainnya, kita dapat belajar pada pesantren Al-Thariq dengan menanam sendiri secara organik kebutuhan pangan termasuk juga non-pangan semisal deterjen, shampoo berbahan dari alam. Demikian juga penghayat sedulur sikep yang sampai detik ini mempertahankan keberlangsungan alam demi masa depan generasi selanjutnya. Pantang menyerah, tak tergoyah dengan gedung yang tinggi, pabrik, dan segala yang modern. Ingat alam juga punya hidup, memberikan kehidupan pada manusia.

Sumber :

  1. https://tirto.id/cukup-dan-bahagia-brvY
  2. https://tirto.id/biar-utang-yang-penting-gaya-bq8a
  3. https://tirto.id/kehebohan-nike-bazaar-dan-alasan-manusia-gila-diskon-cveZ
  4. Dibawah sistem fordisme umur barang produksi dapat mencapai lima sampai tujuh tahun
  5. https://www.scribd.com/mobile/document/237167823/David-Harvey
  6. Noer Fauzi Rachman, Menyegarkan Pemahaman mengenai Kapitalisme Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi pra rapat kerja LSAM. (https://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=1653&lang=in)
  7. http://www.remotivi.or.id/amatan/407/Konsumsi:-Antara-Melawan-Klise-dan-Perlawanan-Yang-Klise
  8. http://www.esaunggul.ac.id/article/pengaruh-iklan-televisi-dalam-pencitraan-gaya-hidup/
  9. http://www.konde.co/2017/07/rahim-dan-revolusi-meja-makan-1.html?m=1

Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://rumahpengetahuandaulathijau.blogspot.com/search?updated-max=2018-03-22T00:03:00-07:00&max-results=13&start=6&by-date=false diunggah ulang di laman Rumah Pengetahuan Daulat Hijau yang baru.

Tinggalkan komentar