Artikel

Ngaji Ekonomi-Politik #2

Berikut ringkasan dari lanjutan diskusi reading book : Geneologi Kapitalisme yang diselenggarakan oleh FNKSA Jombang yang bertempat di RPDH Jombang, dengan Fahmi Saiyfuddin sebagai Fasilitator dalam mengulas tuntas pembahasan BAB I: Asal-Usul Produksi Kapitalis.

Cakupan Materi:

Proletarisasi di Jawa: Sebuah Kasus

Praktik enclosure (pemisahan petani dari lahan garapannya) dan proletarisasi di Jawa:

1830-1870 : Era Tanam Paksa

Jawa dikelola sebagai wilayah perluasan produksi gula dan tanaman impor. Tanah garapan secara resmi milik elite desa, lalu 1/5 luas lahan (dalam praktiknya bisa lebih) diwajibkan untuk menanam tebu sebagai ganti pajak kepada kolonial. Meskipun tanam paksa masih bercorak feodal, akan tetapi pranata-pranata kapitalis seperti sewa tanah, upah, dan panjer dalam ekonomi mulai diperkenalkan kepada petani Jawa. Dibuktikan dengan undang-undang persewaan pada 1839 dan 1857.

1870 : Terbitnya UU Pertahanan kolonial (Agrarischewet)

Meski proletarisasi tenaga kerja dan komodifikasi lahan sudah muncul sejak era Tanam Paksa, akan tetapi pada tahun 1870 inilah titik awal rumusan dasar kapitalisme seperti kepemilikan pribadi absolut atas sarana produksi benar-benar ditegaskan.

Tanah-tanah yang tidak digarap secara langsung, termasuk tanah adat yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya secara tertulis, serta tanah-tanah bangsawan yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, menjadi milik “negara”. Tanah tersebut kemudian disewakan kepada borjuasi liberal di Belanda dengan sebutan ‘hak guna usaha’ selama 75 tahun.

Banyak orang yang terusir dari lahan garapannya. Penduduk tanpa perlindungan sosio-legal tidak punya pilihan lain, selain menjadi buruh perkebunan tebu atau buruh pabrik gula berupah murah guna mempertahankan hidupnya (subsistensi). Sisanya oleh pemerintah kolonial dikirim ke Sumatra dan pulau lain, lalu dijadikan koeli yang juga berupah rendah.

Sistem penyewaan tanah yang didukung hukum legal bernama ‘Agrarischewet’ 1870 merupakan kekuatan Kapitalis menghancurkan corak organisasi kerja feodal. Meski demikian, eksploitasi kapitalis dengan pranata-pranata barunya berdiri di atas pranata penindasan feodal dan Tanam paksa yang diberi nyawa baru. Kerja sama antara Kapitalis dengan elite setempat (seperti bupati, bangsawan, atau kepala desa, dsb.) membangkitkan pranata ‘kerja rodi’ untuk membangun jalan-jalan, saluran irigasi, jembatan, dan infrastruktur penunjang produksi. Hal ini dilakukan sebab dapat menguntungkan kedua belah pihak. Pasalnya hanya dengan ‘modal dengkul’ saja para elite desa juga bisa mendapatkan keuntungan, dengan cara memasok tenaga kerja murah kepada kelas kapitalis guna dihisap tenaga kerjanya.

Marx menuliskan satu wilayah yang dikenal pembangkang di Jawa sebagai berikut:

“Banjuwangi, sebuah propinsi Jawa, terhitung berpenduduk 80.000 jiwa pada 1750 dan hanya 18.000 pada 1811. Itulah (hasil) usaha yang penuh damai” (Marx, 1990: 916), (hal.39).

Kesimpulannya, ada 62.000 jiwa yang bertemu Izrail selama 61 tahun di daerah ujung timur pulau Jawa ketika kapitalisme berkuasa.

***

Segi empat ekpsloitasi kapitalistik:

  1. Lahan Produksi
  2. Skema Hutang
  3. Sistem Proteksi
  4. Pajak Modern

Akumulasi Primitif dan Asal-Usul Ketimpangan

Akumulasi primitif adalah merubah sumber-sumber primitif menjadi modal (kapital), serta pemisahan produsen mandiri (petani penggarap) dari sarana-sarana produksinya (tanah).

Akumulasi primitif ialah proses awal dari corak produksi kapitalisme. Meskipun akumulasi primitif berbeda dengan akumulasi kapital, namun kedunya merupakan sebuah satu kesatuan proses yang tak terpisahkan. Akumulasi primitif merupakan awal dari akumulasi kapital, dan akumulasi kapital tidak terjadi tanpa didahului dengan akumulasi primitif.

Teori akumulasi primitif Marx ditujukan sebagai tanggapan atas teori “previous accumulation” (akumulasi sebelumnya) Sir Adam Smith yang ahistoris. Sebagaimana mitologi yang diyakini kaum borjuis bahwa, terdapat dua gologang manusia: Pertama, ada orang-orang ‘yang rajin, hemat, dan gemar menabung’, kemudian ada orang-orang ‘yang malas, boros, dan suka hambur-hambur’. Dan golongan yang menjadi elite ekonomi sekarang adalah keturanan dari orang yang rajin dan hemat. Sedangkan mereka yang menjadi buruh hari ini adalah keturunan dari orang malas yang suka hambur-hambur. Sehingga dengan teorinya ini, Adam Smith seolah-seolah hendak meyakinkan kaumnya bahwa mereka tidak perlu merasa bersalah dengan adanya ketimpangan sosial.

Teori inilah yang dikritik oleh Marx mengunakan teori akumulasi primitif. Sepanjang bagian delapan Das Kapital jilid pertama (Bab 26-33) Marx mengajukan bukti-bukti sejarah tentang perampasan tanah, pengkaplingan, pengusiran kaum tani, kebijakan upah murah dan sebagainya, yang mendahului revolusi kapitalis. Marx juga menggambarkan tentang perampokan para penjajah Eropa terhadap rakyat dan kekayaan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika sebagai bagian integral dari akumulasi primitif.

Bertahannya yang Primitif

Akumulasi merupakan jantung kapitalisme. Tanpa akumulasi, maka Kapitalis dinyatakan gagal dalam mengamalkan kapitalisme. Oleh karena itu, kapital terus memerlukan ruang baru (ekspansi) untuk terus memutar roda kapital, dengan terus berakumulasi.

Terdapat 2 teori yang menggambarkan cara kapital merasuk ke seluruh penjuru bumi dewasa ini. Pertama,Teori ‘accumulation by dispossession’ (akumulasi dengan perampasan) David Harvey (2007: 159), (hal. 51). Contohnya ialah ekspansi perkebunan sawit di Sumatra. Kompas 9 September 2009 mecatat perusahaan perkebunan sawit yang membuka lahan di lima kecamatan di Sumatra Utara mencaplok tanah-tanah transmigran yang sudah bersertifikat, tanah pengungsi aceh yang tak bersertifikat, bahkan tanah Depnakertrans. Ditambah intimidasi dan teror kepeda mereka yang menolak. Ada yang rumahnya dibakar malam hari, ditikam preman, ada pula PNS yang dimutasi, dan 10 orang dipenjara, karena menuntut pengembalian tanah mereka. Kompas 8 Juni 2010 memberitakan 2 orang petani ditembak, 1 meninggal dunia dalam konflik perkebunan sawit di Riau.

Kedua, teori yang diperkenalkan oleh Naomi Klein (2007) yang disebut ‘disaster capitalism’ (bencana kapitalisme). Contoh kongkret yang terjadi di Indonesia ialah bencana Tsunami Aceh 2004, yang menelan 130.00 korban jiwa dan menghilangkan 37.000 lainnya. Pasca Tsunami, para pemodal berbondong-bondong datang memanfaatkan ‘inflasi’ di Aceh dengan membuka restoran-restoran mewah, hotel berbintang, resort indah di tepi pantai, serta kedai kopi mahal. Di kota Banda Aceh saja misalnya, beberapa restoran seperti A&W, Texas Chicken, dan Pizza Hut membuka gerai untuk pertama kalinya setelah bencana Tsunami.

Dari kedua kasus diatas, terciptakan kondisi di mana masyarakat luas tidak memiliki banyak pilihan selain menjadi buruh perkebunan, atau menjadi tukang sapu/satpam penjaga resort, atau pergi ke pusat industri untuk menjadi buruh pabrik guna mempertahankan hidupnya.

***

Sebagai penutup, ada sepenggal puisi dari Karl Marx yang cocok kiranya menggambarkan bagaimana kerja hukum kapital:

“Kapital Hadir dari kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran”.

(Admin/RPDH)

Tinggalkan komentar