Artikel, Tidak Dikategorikan

DILEMA DAN PETAKA BERORGANISASI

Ahmad Zamroni

Sebuah meja kecil berisikan lembaran-lembaran formulir perekrutan anggota baru nampak di bilik-bilik kampus, tatkala menyambut mahasiswa-mahasiswi baru. Dengan semangat yang menggebu-gebu, senior kampus secara masif tampil menyambut mereka. Melalui orasi, lantunan puisi, serta gelar pameran dipertontonkan guna menarik minat para mahasiswa-mahasiswi baru mendaftarkan dirinya dalam sebuah organisasi ‘intra’ dan/atau ‘ekstra’ kampus. Bahkan tak jarang, saling adu-otot pun dilakukan guna mendapatkan sebuah kader anggota baru.

Usai perkenalan berlangsung, para senior kemudian melakukan rekapitulasi data berapa jumlah mahasiswa-mahasiswi yang berhasil dijaring. Tidak sampai disitu, mereka juga melancarkan pendekatan masif kepada calon anggota baru sembari menunggu ritual sakral kaderisasi. Ada yang menggunakan metode pendekatan persuasif, ada pula yang melangsungkan jurus pendekatan emosional, bahkan ada yang berusaha melancarkan aksi PDKT kepada mahasiswi yang berparas bak selebgram kiwari.

Mereka para mahasiswa-mahasiswi baru mendapat informasi bahwa, organisasi adalah tempat yang paling tepat untuk berproses di tingkat perguruan tinggi. Karena di dalamnya kita bisa belajar banyak hal, semisal bekerja sama, diskusi revolusioner, menulis, belajar publik speaking, berwirausaha, dsb. Menarik Bukan ? Ya tentunya hal tersebut terdengar begitu menarik. Namun, apakah bayangan organisasi tersebut benar-benar semenarik petuah-petuah orasi para senior saat Ia berkampanye semasa kita baru memasuki bangku kuliah ?

Dilema Berorganisasi

Menurut penulis, dilema pertama yang dijumpai ketika sudah bergabung dan terlibat aktif di organisai ialah, kurangnya “hubungan emosional” antara anggota baru dengan anggota lama. Hal itu menjadi alasan mendasar ‘dilema’ muncul dibenak mahasiswa-mahasiswi baru. Pasalnya mereka merasa kurang diperhatikan, dan tidak menemukan kenyamanan dalam berorganisasi, serta merasa tidak memiliki organisasi tersebut.

Kemudian dilema kedua yang lumrah terjadi dalam organisasi ialah, minimnya pengkaderan di wilayah basis teoritik atau keilmuan. Sehingga mereka tidak tahu cara berorganisasi yang baik dan benar, lalu hanya menjadi pengikut bokong senior, sebab tidak demokratisnya organisasi serta keilmuan yang belum matang. Organisasi yang semacam ini akan mengakibatkan kader-kader baru keluar meninggalkan organisasi secara perlahan. Fenomena tersebutlah yang sering penulis jumpai dalam organisasi di beberapa kampus.

Kemudian, jika dilema-dilema tersebut tak kunjung dipecahkan bersama dalam organisasi, maka hadirlah sebuah ‘petaka’. Petaka apakah yang muncul ?

Petaka Baru

Menurut pengamatan penulis, petaka yang muncul ialah, organisasi yang semula merupakan wadah untuk belajar dan mengembangkan potensi diri, justru berbanding terbalik ketika “politik gerakan” merasuk dalam suatu organisasi tersebut. Politik gerakan ini memanfaatkan anggota organisasi yang belum kuat dalam wilayah kajian keilmuan, dengan memberikan pemahaman baru di luar organisasi yang mereka ikuti. Hal tersebut tentu menjadi semacam hembusan nafas segar bagi mereka yang mengalami dilema besar dalam organisasinya.

Politik gerakan mengajarkan bahwa, gerakan yang revolusioner itu harus memiliki  garis poltik yang kuat. Sebab politik yang kuat merupakan syarat berhasilnya gerakan revolusioner. Terlihat menarik bukan ? Lantas kenapa dipermasalahkan ?

Permasalahannya ialah, politik gerakan ini meng’klaim’ bahwa hanya golongannya saja yang revolusioner, selain golongannya tidak. Kasus seperti ini, bagi penulis, menjadi sebuah petaka baru. Pasalnya pemahaman yang tidak dipahami secara radikal dan menyeluruh akan menciptakan sebuah dogma, yang akhirnya mudah mengklaim orang yang tidak segaris dengan sikap politik gerakan tersebut sebagai gerakan yang tidak revolusioner.

Padahal, Che Geuvara mengatakan:

“Revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang luar biasa. Mustahil untuk memikirkan seorang revolusioner sejati yang tidak memiliki kualitas ini.”

Dan cinta bukanlah sebuah paksaan, apalagi tuduhan atas sikap yang dianggap berlainan. Cinta itu merangkul dan membawa orang kepada jalan kebenaran, serta menciptakan hubungan sosial yang setara, dan mewujudkan kebahagiaan bersama.

Akhirul Kalam

Oleh karena itu, layaknya setiap organisasi haruslah bersikap demokratis dan profesional. Seperti lebih menekankan kepada giat belajar mengasah bakat dan minat setiap anggota, mendengar keluh kesah anggotanya, dan menampung saran dan kritik seluruh anggotanya. Serta membangun diskusi keilmuan yang bermanfaat bagi pengembangan diri serta masyarakat luas.


Penulis adalah pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam

ilustrasi : Pamoy Syn

Tinggalkan komentar