Artikel, Esai

Omnibus Law, Revolusi Industri 4.0, dan Generasi Karatan 2045

Fahmi Saiyfuddin (Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau)

Delia adalah wanita pekerja di Ibu Kota, bekerja di sebuah Hotel bintang lima sebagai cleaning service. Dengan gaji UMR Delia mampu menopang kehidupan pribadi sekaligus kuliah secara mandiri. Sebagai petugas kebersihan, Delia tentu bekerja berdasarkan intensitas jumlah pengungjung yang datang. Hal ini membuatkan pihak hotel merasa ada waktu yang tidak produktif terhadap kinerja Delia yang tetap mendapat Rp 3.648.035 setiap bulan.

Awalnya Delia termasuk orang yang beranggapan bahwa waktu kerja 8 jam, segala bentuk tunjangan, libur cuti, serta gajinya adalah rezeki Ilahi serta kebaikan perusahaan terhadap pekerja, tanpa sadar adanya proses penghisapan. Hingga Ia kenal dengan seseorang yang menyadarkan dirinya perihal dinamika perjuangan kelas pekerja menuntut hak-haknya.

Jadilah kini Delia yang aktif bergabung dalam kajian serta gerakan buruh. Hal tersebut  membuat  Ia sadar bahwa terdapat struktur kuasa yang sektoral, atau dikuasi oleh segelintir elit menyebabkan kontruk sosial-ekonomi yang timpang. Disamping itu, tiada ketentuan afirmatif untuk memberi dan melindungi hak-hak perempuan dalam bekerja, masih menjadi persoalan serius yang sampai kini belum tuntas.

Terlebih belakangan ini timbul RUU Omnibus Law yang ditolak oleh kalangan buruh pada 20 Januari 2020 di depan gedung DPR, karena isi UU tersebut dirasa semakin merapas hak pekerja. Selaras dengan hal tersebut, juga ada wacana Revolusi Industri 4.0 yang merupakan agenda membesarkan Transnational Corporation. Serta iming-iming “Generasi Emas 2045” dengan bonus demografi, yang jika diusut hanya akan menghasilkan banyak tenaga kerja murah nantinya.

Omnibus Law

Omnibus Law adalah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan peraturan. Artinya satu peraturan bisa membawahi banyak peraturan yang bertujuan menciptakan sebuah peraturan mandiri tanpa terikat. Omnibus Law dicanangkan untuk menyelesaikan permasalahan peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih untuk kemudahan laju investasi.        

Sekitar terdapat 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan di revisi karena dianggap menghambat investasi. Ada satu RUU dalam Omnibus Law yang menyulut protes para buruh, yakni terhadap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA), pasalnya UU tersebut sangat memanjakan pengusaha dan tidak berpihak pada para pekerja yang notabene rakyat kelas bawah. Diantaranya ialah penghasupan sanksi pidana atas pengusaha nakal, penerapan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengabil atau memutus pekerja), pengaturan fleksibilitas jam kerja, dan soal pesangon serta pengupahan tenaga kerja.

Jadi, apabila pesangon serta pengupahan tenaga kerja diterapkan dengan upah per jam, maka gaji Delia yang sekitar 3,5 Juta per-bulan dibagi 30 hari menjadi Rp. 120.000, kemudian dibagi 8 Jam, hasilnya hanya Rp. 15.000 saja. Dengan begitu, pekerjaan sebagai cleaning service yang bekerja hanya 2 sampai 5 jam per-hari tergantung intensitas pengunjung, maka bisa dibayangkan bagaimana nasib Delia serta para pekerja lain. Terlebih adanya easy hiring easy firing dan realita sulitnya mencari pekerjaan di Ibu Kota. Lantas akan bagaimana nasib Delia ?

Selain upah tenaga kerja, penghapusan AMDAL dan IMB dalam Omnibus Law jelas semakin menambah kerusakan ekologi yang berpontesi meningkatkan global climate (pemansana global)serta dampak sosial-ekonomi berkepanjangan. Terlebih adanya ‘Diskon Pajak’ serta sanksi dari Pemerintah Pusat bagi siapa saja yang menghambat laju investasi. Dapat dipastikan gerakan sosial akan dikebiri sebab makin leluasanya para pengusaha akibat penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal.

Tidak berhenti sampai disitu, visa izin bagi ‘Tenaga Kerja Asing’ (TKA) yang dipermudah pasti berdampak meningkatnya jumlah pengangguran, lalu jurang ketimpangan sosial antara si kaya (Borjuis) dan si Miskin (Ploletar) dipastikan akan terus meningkat, dan kekayaan bangsa ini akan semakin sektoral bagi segelintir elit saja (Oligarki). Lantas kalau sudah demikian, akan bagaiaman nasib seluruh masyarakat jika RUU Omnibus Law disahkan ?

Revolusi Industri 4.0

Konsep “Industri 4.0” adalah kepanjangan dari revolusi industri 0.1 sampai 0.3, yang dikenal dengan sebutan revolusi teknologi dan revolusi digital. Terdapat 4 ciri yang menandakan revolusi industri 4.0: Pertama, Internet of Things (segala sesuatu tersambung internet). Kedua, Big Data (1001 sensor, dan 1001 informasi untuk merekam selama 24 jam sehari). Ketiga, Cloud Computing (perdataan cepat berbasis internet). Keempat, Artificial Intelligence (mesin otomatis yang menggatikan seluruh proses kerja, atau yang disebut Robot Automation).

Fakta berbicara bahwa kebangkitan revolusi industri sejak awal telah menelan banyak korban. Revolusi tersebutlah yang menjadi embrio kolonialisme yang dilakukan Eropa untuk menguasai dunia. Mesim uap yang membutuhkan minyak sebagai bahan bakar di eksploitasi dari negeri-negeri jajahan, serta sumber daya alam (SDA) lain untuk kepentingan industri serta kekayaan sektoral untuk bangsa penjajah. Di samping itu, revolusi industri juga berdampak pada sosial budaya dan proses dehumanisasi karena berkurangnya tenaga kerja manusia.

Bisa dibanyangkan, Omnibus Law yang mengancam hak-hak pekerja, dan ditambah dengan Robot Automation rancangan revolusi Industri 4.0 adalah sebuah proses sistematis berbalut hukum memiskinkan Delia dan para pekerja lain, dan lagi-lagi membuat kaya yang sudah kaya.

Dari proses tersebut muncul sebuah pertanyaan, siapa yang di untungkan ? Pengusaha besar / Transnational Corporation. Serta siapa yang di rugikan ? Para pekerja yang notabene rakyat jelata. Lantas bagaimana nasib sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jika melihat potret gagasan tersebut ?

Generasi Karatan 2045

2045 adalah saat Indonesia genap berusia 100 tahun. Timbul ide dan gagasan tentang “Generasi Emas 2024”. Istilah tersebut dilandasi dengan ‘Bonus demografi’ pada tahun 2045. Bonus demografi disebut sebagai harta karun berharga, karena di tahun tersebut jumlah peduduk Indonesia di prediksi mencapai 70% dominasi usia produktif (15-64 tahun), dan 30% usia tidak produktif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun).

Pemerintah sendiri dalam dokumen  Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekononomi Indonesia (MPE3I) di era SBY sudah mencanangkan, pada tahun 2025 Indonesia akan jadi negara maju, mandiri, makmur, dan adil, serta diharapakan menjadi 12 besar kekuatan ekonomi Dunia dengan pendapatan perkapita USD 15.000. Kemudian pada 2045 mendatang, diproyeksikan pendapatan per kapita menjadi sebesar USD 47.000 dan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu dari 7 kekuatan ekonomi Dunia.

Jika hari ini Delia berumur 20 tahun, maka di tahun 2045 Ia akan berumur 45 tahun dan masih dalam masa produktif. Di samping itu, Delia juga harus bersaing karena banyak generasi setelahnya yang tentu lebih fresh dan produktif untuk dipekerjakan. Namun, jika dikaitkan kembali dengan proyek RUU Omnibus Law dan sistem Industri 4.0, apakah mungkin Indonesia menjadi negara maju yang diejawantahkan dalam MP3EI dapat terealisasikan ?

Bila ditinjau lagi, “generasi emas 2045” hanya akan menghasilkan banyak pekerja murah jika kita apatis dan membiarkan Omnibus Law serta laju Revolusi Industri 4.0 yang berupaya membesarkan pengusaha saja. Lalu, sesuatu yang disebut harta karun ‘bonus demografi’ hanya akan menjadi generasi yang ‘berkarat’. Sebab tenaga kerja yang melimpah akan tetapi pekerjaan terbatasi oleh Robotisasi Revolusi Industri, lantas akhirnya para pekerja merelakan dirinya dibayar murah sebab Omnibus Law.

Melihat kondisi tersebut, lantas apa bedanya Delia dan generasi berikutnya pada 2045 dengan perbudakan era-Feodalisme yang bekerja dan hanya diberi makan oleh majikannya. Lalu juga dengan pasca-Feodal, dimana seorang buruh bekerja dan diberi upah yang hanya cukup untuk makan. Pertanyaan baru muncul, apakah keadaan tersebut bisa disebut “Generasi Emas” ? Dan apakah “Keadilan Sosial” benar-benar ada ?

Penutup

Dengan hadirnya Omnibus Law, tentu membawa nafas segar bagi pemilik Hotel tempat Delia bekerja serta perusahaan-perusahaan besar lainya. Sebab keuntungan yang diperoleh bisa naik berkali-kali lipat nantinya. Terlebih bagi korporasi besar (Transnational Corporation), Omnibus Law adalah pusaka berharga untuk menaikan laba mereka. Sedangkan Delia serta teman-teman kelas pekerja dibrangus segala hak-haknya.

Melihat ulang RUU Omnibus Law, gagasan Relovusi Industri 4.0, serta Generasi Karatan 2045, nampaknya hal tersebut hanya menghasilkan ‘demuhanisasi masal’ serta kekayaan yang lebih sektoral. Mekanisme ini tentu adalah seperangkat proyek yang sistematis beralas kapitalis dengan corak ekploitasi masif dan tidak moralis karena berdampak pada ketimpangan sosial berkelanjutan.

Terlebih Delia seorang wanita, maka akan lahir stigma-stigma negatif dalam kontruk sosial masyarakat, akibat corak produksi “mode of production” kapitalisme yang eksploitatif, bias gender dan tidak berkeadilan. Maka, setelah berkaca pada hal-hal tersebut, kendati seorang wanita, Delia dengan tegas bersuara kepada teman-temannya “Wahai buruh Indonesia, bersatulah Tolak RUU Omnibus Law”.



Foto : Sejumlah massa buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) saat menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI, Jakarta, Senin, 13 Januari 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Sumber Gambar : kolom.tempo.co

Artikel, Esai

Komersialisasi Ujung Rambut Hingga Kaki

sumber:google.com

oleh : Ayu Nuzul

Apa sih yang tidak dikomersilkan? Kita mandi pakai sabun, keramas pakai shampo, sikat gigi pakai pasta gigi, cuci muka pakai scrub, cuci baju pakai deterjen, mau tidur pakai lotion, datang bulan butuh pembalut. Kenapa tubuh ini konsumtif sekali! Apa ini kebutuhan ataukah sekedar gaya hidup? Andai dirinci secara matematis berapa rupiah kebutuhan tubuh ini selain makan? Bagaimana jika dalam keseharian tanpa memakai produk-produk tersebut? Bagaimana mengenal produk-produk tersebut sehingga menjadi bagian kehidupan?

Nenek saya pernah bercerita jika orang dahulu mencuci baju memakai klerak yakni sejenis tanaman, saya juga belum pernah melihat tanaman itu. Keramas cukup dengan merang atau sekarang lebih dikenal dengan nama urang-aring, untuk pelembab rambut cukup pakai minyak kelapa dibikin sendiri. Orang dulu terbiasa nginang (makan sirih), walau usia tua gigi tetap utuh barangkali jarang juga gosok gigi. Untuk masalah datang bulan cukup pakai kain bekas, dicuci, dipakai kembali, jadi tidak ada sampah, tanpa biaya.

Sekarang semua serba beli dengan alasan praktis dan efisien. Lagi pula jika memakai bahan seperti yang disebutkan di atas sulit didapatkan saat ini, berbeda dengan dahulu bahan-bahan dari alam bisa diperoleh dengan mudah dipekarangan rumah. Bagaimana bisa hilang bahan-bahan tersebut padahal menjadi kebutuhan utama? Jika dahulu semua kebutuhan cukup dari alam kenapa beralih memilih mengeluarkan biaya?

Kehidupan sekarang semua serba modern segala sesuatu terlihat menarik dari luar, praktis, dan efisien. Tersedia dimana saja, dan gampang didapat, berbagai macam produk ditawarkan mulai dari atas kepala sampai menyentuh tanah. Seolah-olah menjadi solusi praktis, padahal membelenggu menjadi ketergantungan. Lantas siapa yang diuntungkan? Kita sebagai konsumen atau produsen.

Persoalan tersebut baru satu ruang kehidupan, bagaimana dengan makanan sehari-hari sebagai kebutuhan primer? Selanjutnya sekunder? Apa juga berubah?

Sebagai perenungan lagi-lagi saya mengambil cerita nenek, orang dahulu kalau makan itu seadanya. Panen jagung sebagian dijual sebagian untuk makan, begitupun dengan padi cukup makan sampai panen berikutnya. Makanan alternatif seperti ketela pohon atau rambat, umbi-umbian lain banyak di pekarangan rumah atau kebun.Sebagai lauk di kebun semua tersedia lengkap, cabai, pepaya, kelapa, daun-daunan, tumbuh liar di kebun. Belanja cukup beli ikan asin, terasi, garam. Jika ingin menu lain seperti telur bisa ambil di kandang, kata nenek walaupun ayamnya tidak banyak. Masakan nenek  jarang digoreng, ikan asin cukup dibakar, ketela direbus. Beli kecap saja kalau akan masak buat selamatan.

Nenek saya petani tulen, katanya petani jarang punya uang tapi punya barang. Jadi kalo masalah makan cukup yang dipunya saja yang penting tidak punya hutang.

Selanjutnya, bagaimana dengan kebutuhan sekunder? Kira-kira dalam setahun kita beli baju berapa kali? Sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pulsa? Perabot rumah tangga apa yang belum punya? Apakah kesemuanya jadi sesuatu yang urgen?

Menjadi Manusia Konsumtif

Menurut pakar neurosains Sam Haris mengatakan manusia modern dibuat terobsesi oleh sebuah produk. Baru-baru ini muncul iklan provider dengan sebuah jargon unik “kebelet online”, dimunculkan remaja rela naik ke atas pagar mencari sinyal  agar bisa online. Pesan iklan tersebut mengisyaratkan online adalah kebutuhan. Iklan serupa, sebuah smartphone, jargon iklannya “muka masa kini hp masa gitu!”. Iklan tersebut berpesan bahwa remaja saat ini sudah tidak cocok dengan hp yang cuma bisa menelpon dan kirim pesan. Untuk menjadi remaja masa kini mesti smartphone.

Iklan menjadi ideologi, tanpa sadar memaksa, tanpa sadar mengobsesi pikiran, mencuci otak, membayangi, membuat penasaran, dan pada akhirnya masuk jebakan dengan membelinya.

Sebuah riset UCLA pada 2012 terhadap 32 keluarga di Los Angeles terkait kepemilikan benda-benda. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin banyak benda yang dimiliki keluarga semakin mahal biaya hidup dan perawatan yang harus dikeluarkan1.

Pada 2013, Kadence International-Indonesia merilis hasil riset Share of Wallet, hasilnya 28 persen masyarakat Indonesia berada dalam kategori “Broke”, atau kelompok yang pengeluarannya lebih besar ketimbang pendapatannya, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Pengeluaran ini dilakukan untuk hidup mewah di luar penghasilannya2. Perilaku konsumtif demi memburu benda yang menjadi obsesi dapat dilihat penuhnya pusat perbelanjaan menggelar diskon produk ternama semisal Nike, pembeli rela berdesakan dan antri berjam-jam3.

Jika merujuk apa yang dikatakan David Harvey menganai “time space compression” adalah kata kunci untuk menunjukkan kondisi keberadaan manusia atas ruang dan waktu. Time space compression merupakan sebuah perspektif tertentu manusia masa kini yang erat dengan kemajuan material menyentuh hampir segala aspek kehidupan. Kemajuan material menyangkut kemajuan teknologi yang bertambah canggih. Hal demikian tidak lepas dari modus produksi kapitalis. Harvey memberikan tiga gambaran modus produksi kapitalis, pertama, kapitalisme selalu berorientasi pada pertumbuhan, kedua, pertumbuhan yang maksimal mengandaikan adanya eksploitasi terhadap buruh, dan ketiga, kapitalisme membutuhkan suatu kondisi dinamis dan inovatif secara teknologi organisatoris.

Dalam dua atau tiga dekade terakhir Harvey menunjukkan adanya pergeseran ranah kehidupan sosial manusia. Dalam ranah ekonomi-politik disebut pergeseran dari sistem fordisme4 ke sistem akumulasi fleksibel. Sistem akumulasi baru ini  berdasarkan fleksibel atau kelenturan respect pada proses kerja, proses produksi, dan pola konsumsi. Untuk mempercepat waktu perputaran konsumsi, umur barang produksi semakin diperpendek sehingga orang membeli barang baru lagi. Dibawah sistem fordisme umur produk bisa mencapai lima sampai tujuh tahun, tetapi dibawah sistem akumulasi fleksibel umur produk diperpendek hingga separuhnya. Bahkan perangkat lunak (software) hanya dalam hitungan bulan5.

Dalam bidang produksi muncul produk instan (cepat saji) dan cepat buang. Namun yang dibuang tak hanya barang, tetapi juga nilai-nilai, gaya hidup, relasi-relasi mapan serta ikatan-ikatan pada tempat dan orang.

Produk instan tak hanya berupa makanan, produk lain seperti sabun cuci yang dahulu memakai klerak melalui proses direbus dahulu. Minyak rambut dari kelapa melalui proses panjang; diparut, diambil santannya kemudian dimasak sampai keluar minyaknya. Cuci piring cukup pakai abu gosok diambil dari  tungku tak perlu beli. Keramas dengan urang-aring dibakar, direndam air kemudian diambil beningnya. Kesemua proses itu dianggap memakan waktu lama, kuno, dan ribet. Demikian juga tisu, popok bayi, gelas atau botol minum semuanya sekali pakai-buang. Memakai produk jadi dianggap efisien, yang tentunya diperoleh dengan beli. Melalui sirkulasi produksi kebutuhan manusia dibentuk agar dapat mengkonsumsi apapun yang diproduksi.Polanyi menyatakan bahwa kelembagaan pasar tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakikat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat, ia akan secara fisik merusak6.

Lebih lanjut aktivitas produksi membutuhkan manipulasi rasa dan opini melalui iklan yang tidak hanya sekedar menginformasikan atau mempromosikan tetapi meningkatkan menjadi usaha memanipulasi hasrat dan rasa melalui imaji-imaji yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan. Bahkan imaji-imaji sendiri menjadi komoditas.

Visualisasi iklan seolah hidup dan nyata. John Cook (Dalam Bragg & Kehily, 2014) mengidentifikasi hal tersebut dalam iklan yang ditargetkan kepada khalayak muda:7

“…wacana periklanan kini semakin kerap menekankan agensi dan otonomi konsumen muda. Alih-alih dirancang secara artifisial oleh pasar, hasrat para konsumen muda ditampilkan sebagai hal yang otentik dan berasal dari diri mereka sendiri.”

Menurut Heiddegger perkembangan teknologi informasi memungkinkan manusia hidup dalam ruang dimana anggapan mitos “ada” menjadi dunia citraan media massa. Misal produk kecantikan Wajah, divisualisasikan perempuan berhijab, cantik, dan sukses. Pesan iklan ini mencitrakan bahwa ini produk halal bersertifikat MUI artinya tidak ada babi-babian jadi tak perlu takut tercampur sesuatu yang haram plus aman karena halaalan bersanding dengan thoyyiban.

Produk ini dipakai para perempuan sukses kelas atas sehingga mampu meyakinkan orang untuk berbondong-bondong menyerbu supermarket membeli produk ini dengan bayangan mendadak berganti rupa secantik Dewi Sandra. Labelisasi halal pada gilirannya menjadi tren komersil produk lain seperti jilbab, deterjen, shamphoo, parfum, body loshion dan sederet produk lain yang belum muncul. Sebagaimana diungkapkan oleh aliran Marxisme Frankfurt bahwa kesadaran palsu berdasarkan pada penguraian penciptaan ide yang palsu tentang berbagai nilai serta makna yang ada didalamnya  serta hubungan sosial di dalam lingkungan masyarakat dibentuk oleh kuasa media8.

***

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air yang diadakan Sayogjo Institut di pesantren al-Thariq Garut pada Jawa Barat 14-16 Juli 2017 diikuti oleh 165 peserta laki-laki dan perempuan patut diapresiasi ide revolusi meja makan dengan kembali kepada yang natural 9.

Acara yang mangkaji bagaimana pengaruh makanan modern terhadap kondisi tubuh, karena tidak diketahui asal-usulnya yang kesemuanya didapat dengan membeli di swalayan atau pesan melalui aplikasi telepon pintar. Komposisi makanan maupun proses tanamnya mengandung kimia berbahaya  yang berakibat buruk bagi tubuh dan juga alam. Minyak goreng sawit yang tumbuhnya ditopang pestisida kimia demikian juga beras, bahkan sayuran. Kemasan styrofoam atau plastik butuh 100 tahun terurai dengan tanah menjadi racun.

Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air ini menjadi suatu perlawanan kecil bahwa kita harus kembali ke alam, memanfaatkan apa yang diberikan alam di mulai dari meja makan berlanjut kebutuhan-kebutuhan lain dari atas kepala sampai ujung kaki. Ditengah gempuran berbagai produk makanan maupun selainnya, kita dapat belajar pada pesantren Al-Thariq dengan menanam sendiri secara organik kebutuhan pangan termasuk juga non-pangan semisal deterjen, shampoo berbahan dari alam. Demikian juga penghayat sedulur sikep yang sampai detik ini mempertahankan keberlangsungan alam demi masa depan generasi selanjutnya. Pantang menyerah, tak tergoyah dengan gedung yang tinggi, pabrik, dan segala yang modern. Ingat alam juga punya hidup, memberikan kehidupan pada manusia.

Sumber :

  1. https://tirto.id/cukup-dan-bahagia-brvY
  2. https://tirto.id/biar-utang-yang-penting-gaya-bq8a
  3. https://tirto.id/kehebohan-nike-bazaar-dan-alasan-manusia-gila-diskon-cveZ
  4. Dibawah sistem fordisme umur barang produksi dapat mencapai lima sampai tujuh tahun
  5. https://www.scribd.com/mobile/document/237167823/David-Harvey
  6. Noer Fauzi Rachman, Menyegarkan Pemahaman mengenai Kapitalisme Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi pra rapat kerja LSAM. (https://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=1653&lang=in)
  7. http://www.remotivi.or.id/amatan/407/Konsumsi:-Antara-Melawan-Klise-dan-Perlawanan-Yang-Klise
  8. http://www.esaunggul.ac.id/article/pengaruh-iklan-televisi-dalam-pencitraan-gaya-hidup/
  9. http://www.konde.co/2017/07/rahim-dan-revolusi-meja-makan-1.html?m=1

Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://rumahpengetahuandaulathijau.blogspot.com/search?updated-max=2018-03-22T00:03:00-07:00&max-results=13&start=6&by-date=false diunggah ulang di laman Rumah Pengetahuan Daulat Hijau yang baru.