Fahmi Saiyfuddin (Pegiat Rumah Pengetahuan Daulat Hijau)
Delia adalah wanita pekerja di Ibu Kota, bekerja di sebuah Hotel bintang lima sebagai cleaning service. Dengan gaji UMR Delia mampu menopang kehidupan pribadi sekaligus kuliah secara mandiri. Sebagai petugas kebersihan, Delia tentu bekerja berdasarkan intensitas jumlah pengungjung yang datang. Hal ini membuatkan pihak hotel merasa ada waktu yang tidak produktif terhadap kinerja Delia yang tetap mendapat Rp 3.648.035 setiap bulan.
Awalnya Delia termasuk orang yang beranggapan bahwa waktu kerja 8 jam, segala bentuk tunjangan, libur cuti, serta gajinya adalah rezeki Ilahi serta kebaikan perusahaan terhadap pekerja, tanpa sadar adanya proses penghisapan. Hingga Ia kenal dengan seseorang yang menyadarkan dirinya perihal dinamika perjuangan kelas pekerja menuntut hak-haknya.
Jadilah kini Delia yang aktif bergabung dalam kajian serta gerakan buruh. Hal tersebut membuat Ia sadar bahwa terdapat struktur kuasa yang sektoral, atau dikuasi oleh segelintir elit menyebabkan kontruk sosial-ekonomi yang timpang. Disamping itu, tiada ketentuan afirmatif untuk memberi dan melindungi hak-hak perempuan dalam bekerja, masih menjadi persoalan serius yang sampai kini belum tuntas.
Terlebih belakangan ini timbul RUU Omnibus Law yang ditolak oleh kalangan buruh pada 20 Januari 2020 di depan gedung DPR, karena isi UU tersebut dirasa semakin merapas hak pekerja. Selaras dengan hal tersebut, juga ada wacana Revolusi Industri 4.0 yang merupakan agenda membesarkan Transnational Corporation. Serta iming-iming “Generasi Emas 2045” dengan bonus demografi, yang jika diusut hanya akan menghasilkan banyak tenaga kerja murah nantinya.
Omnibus Law
Omnibus Law adalah peraturan perundang-undangan yang mengandung lebih dari satu muatan peraturan. Artinya satu peraturan bisa membawahi banyak peraturan yang bertujuan menciptakan sebuah peraturan mandiri tanpa terikat. Omnibus Law dicanangkan untuk menyelesaikan permasalahan peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih untuk kemudahan laju investasi.
Sekitar terdapat 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan di revisi karena dianggap menghambat investasi. Ada satu RUU dalam Omnibus Law yang menyulut protes para buruh, yakni terhadap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CILAKA), pasalnya UU tersebut sangat memanjakan pengusaha dan tidak berpihak pada para pekerja yang notabene rakyat kelas bawah. Diantaranya ialah penghasupan sanksi pidana atas pengusaha nakal, penerapan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengabil atau memutus pekerja), pengaturan fleksibilitas jam kerja, dan soal pesangon serta pengupahan tenaga kerja.
Jadi, apabila pesangon serta pengupahan tenaga kerja diterapkan dengan upah per jam, maka gaji Delia yang sekitar 3,5 Juta per-bulan dibagi 30 hari menjadi Rp. 120.000, kemudian dibagi 8 Jam, hasilnya hanya Rp. 15.000 saja. Dengan begitu, pekerjaan sebagai cleaning service yang bekerja hanya 2 sampai 5 jam per-hari tergantung intensitas pengunjung, maka bisa dibayangkan bagaimana nasib Delia serta para pekerja lain. Terlebih adanya easy hiring easy firing dan realita sulitnya mencari pekerjaan di Ibu Kota. Lantas akan bagaimana nasib Delia ?
Selain upah tenaga kerja, penghapusan AMDAL dan IMB dalam Omnibus Law jelas semakin menambah kerusakan ekologi yang berpontesi meningkatkan global climate (pemansana global)serta dampak sosial-ekonomi berkepanjangan. Terlebih adanya ‘Diskon Pajak’ serta sanksi dari Pemerintah Pusat bagi siapa saja yang menghambat laju investasi. Dapat dipastikan gerakan sosial akan dikebiri sebab makin leluasanya para pengusaha akibat penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal.
Tidak berhenti sampai disitu, visa izin bagi ‘Tenaga Kerja Asing’ (TKA) yang dipermudah pasti berdampak meningkatnya jumlah pengangguran, lalu jurang ketimpangan sosial antara si kaya (Borjuis) dan si Miskin (Ploletar) dipastikan akan terus meningkat, dan kekayaan bangsa ini akan semakin sektoral bagi segelintir elit saja (Oligarki). Lantas kalau sudah demikian, akan bagaiaman nasib seluruh masyarakat jika RUU Omnibus Law disahkan ?
Revolusi Industri 4.0
Konsep “Industri 4.0” adalah kepanjangan dari revolusi industri 0.1 sampai 0.3, yang dikenal dengan sebutan revolusi teknologi dan revolusi digital. Terdapat 4 ciri yang menandakan revolusi industri 4.0: Pertama, Internet of Things (segala sesuatu tersambung internet). Kedua, Big Data (1001 sensor, dan 1001 informasi untuk merekam selama 24 jam sehari). Ketiga, Cloud Computing (perdataan cepat berbasis internet). Keempat, Artificial Intelligence (mesin otomatis yang menggatikan seluruh proses kerja, atau yang disebut Robot Automation).
Fakta berbicara bahwa kebangkitan revolusi industri sejak awal telah menelan banyak korban. Revolusi tersebutlah yang menjadi embrio kolonialisme yang dilakukan Eropa untuk menguasai dunia. Mesim uap yang membutuhkan minyak sebagai bahan bakar di eksploitasi dari negeri-negeri jajahan, serta sumber daya alam (SDA) lain untuk kepentingan industri serta kekayaan sektoral untuk bangsa penjajah. Di samping itu, revolusi industri juga berdampak pada sosial budaya dan proses dehumanisasi karena berkurangnya tenaga kerja manusia.
Bisa dibanyangkan, Omnibus Law yang mengancam hak-hak pekerja, dan ditambah dengan Robot Automation rancangan revolusi Industri 4.0 adalah sebuah proses sistematis berbalut hukum memiskinkan Delia dan para pekerja lain, dan lagi-lagi membuat kaya yang sudah kaya.
Dari proses tersebut muncul sebuah pertanyaan, siapa yang di untungkan ? Pengusaha besar / Transnational Corporation. Serta siapa yang di rugikan ? Para pekerja yang notabene rakyat jelata. Lantas bagaimana nasib sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jika melihat potret gagasan tersebut ?
Generasi Karatan 2045
2045 adalah saat Indonesia genap berusia 100 tahun. Timbul ide dan gagasan tentang “Generasi Emas 2024”. Istilah tersebut dilandasi dengan ‘Bonus demografi’ pada tahun 2045. Bonus demografi disebut sebagai harta karun berharga, karena di tahun tersebut jumlah peduduk Indonesia di prediksi mencapai 70% dominasi usia produktif (15-64 tahun), dan 30% usia tidak produktif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun).
Pemerintah sendiri dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekononomi Indonesia (MPE3I) di era SBY sudah mencanangkan, pada tahun 2025 Indonesia akan jadi negara maju, mandiri, makmur, dan adil, serta diharapakan menjadi 12 besar kekuatan ekonomi Dunia dengan pendapatan perkapita USD 15.000. Kemudian pada 2045 mendatang, diproyeksikan pendapatan per kapita menjadi sebesar USD 47.000 dan mengantarkan Indonesia menjadi salah satu dari 7 kekuatan ekonomi Dunia.
Jika hari ini Delia berumur 20 tahun, maka di tahun 2045 Ia akan berumur 45 tahun dan masih dalam masa produktif. Di samping itu, Delia juga harus bersaing karena banyak generasi setelahnya yang tentu lebih fresh dan produktif untuk dipekerjakan. Namun, jika dikaitkan kembali dengan proyek RUU Omnibus Law dan sistem Industri 4.0, apakah mungkin Indonesia menjadi negara maju yang diejawantahkan dalam MP3EI dapat terealisasikan ?
Bila ditinjau lagi, “generasi emas 2045” hanya akan menghasilkan banyak pekerja murah jika kita apatis dan membiarkan Omnibus Law serta laju Revolusi Industri 4.0 yang berupaya membesarkan pengusaha saja. Lalu, sesuatu yang disebut harta karun ‘bonus demografi’ hanya akan menjadi generasi yang ‘berkarat’. Sebab tenaga kerja yang melimpah akan tetapi pekerjaan terbatasi oleh Robotisasi Revolusi Industri, lantas akhirnya para pekerja merelakan dirinya dibayar murah sebab Omnibus Law.
Melihat kondisi tersebut, lantas apa bedanya Delia dan generasi berikutnya pada 2045 dengan perbudakan era-Feodalisme yang bekerja dan hanya diberi makan oleh majikannya. Lalu juga dengan pasca-Feodal, dimana seorang buruh bekerja dan diberi upah yang hanya cukup untuk makan. Pertanyaan baru muncul, apakah keadaan tersebut bisa disebut “Generasi Emas” ? Dan apakah “Keadilan Sosial” benar-benar ada ?
Penutup
Dengan hadirnya Omnibus Law, tentu membawa nafas segar bagi pemilik Hotel tempat Delia bekerja serta perusahaan-perusahaan besar lainya. Sebab keuntungan yang diperoleh bisa naik berkali-kali lipat nantinya. Terlebih bagi korporasi besar (Transnational Corporation), Omnibus Law adalah pusaka berharga untuk menaikan laba mereka. Sedangkan Delia serta teman-teman kelas pekerja dibrangus segala hak-haknya.
Melihat ulang RUU Omnibus Law, gagasan Relovusi Industri 4.0, serta Generasi Karatan 2045, nampaknya hal tersebut hanya menghasilkan ‘demuhanisasi masal’ serta kekayaan yang lebih sektoral. Mekanisme ini tentu adalah seperangkat proyek yang sistematis beralas kapitalis dengan corak ekploitasi masif dan tidak moralis karena berdampak pada ketimpangan sosial berkelanjutan.
Terlebih Delia seorang wanita, maka akan lahir stigma-stigma negatif dalam kontruk sosial masyarakat, akibat corak produksi “mode of production” kapitalisme yang eksploitatif, bias gender dan tidak berkeadilan. Maka, setelah berkaca pada hal-hal tersebut, kendati seorang wanita, Delia dengan tegas bersuara kepada teman-temannya “Wahai buruh Indonesia, bersatulah Tolak RUU Omnibus Law”.
Foto : Sejumlah massa buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) saat menggelar aksi menolak Omnibus Law RUU Cilaka di depan Gedung DPR/DPD/MPR RI, Jakarta, Senin, 13 Januari 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sumber Gambar : kolom.tempo.co